Langsung ke konten utama

Kepercayaan Urang Banjar di Kalimantan Selatan


1.      SEJARAH SUKU BANJAR
Mengingat persamaan yang besar sekali antara bahasa yang dikembangkan suku Banjar dengan bahasa Melayu, yang dikembangkan oleh suku-suku di Sumatera dan sekitarnya, dapat diduga mungkin sekali nenek moyang suku Banjar berintikan pecahan suku Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini, dari Sumatera atau sekitarnya.
Imigrasi besar-besaran dari suku Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Barangkali suku Dayak Bukit, yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang pertama; bahasa mereka dapat diidentifikasikan sebagai bahasa Banjar kuno. Imigran-imigran Melayu yang datang belakangan inilah yang menjadi inti dan kemudian, setelah berlalu waktu dan banyak kelompok-kelompok Bukit dan Manyan, dan belakangan kelompok Ngaju, melebur kedalamnya, berkembang menjadi suku Banjar. Nama Banjar diperoleh ketika pusat kekuasaan berada di Banjarmasin, dan sesuai dengannya kesultanan yang memerintah dinamakan Kesultanan Banjarmasin, atau disingkat Banjar, dan mereka itu, sampai tahun 1859 (saat kesultanan dihapuskan), adalah warga Kesultanan Banjar tersebut. (Daud Alfani, 1997: 25)
Peristiwa perpindahan besar-besaran suku Melayu, yang menjadi inti nenek moyang suku Banjar, mungkin sekali terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya. Sangat mungkin sekali pusat-pusat permukiman mereka yang mula-mula terletak di daerah-daerah tepi sungai yang mudah dicapai dari laut Jawa, dan karena, sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan pada waktu itu masih merupakan teluk raksasa yang jauh menjorok ke pedalaman, pusat-pusat pemukiman mereka tentu terletak di lembah-lembah sungai di sekitar kaki Pegunungan Meratus. Kenyataan inilah barangkali yang menerangkan mengapa, ketika teluk raksasa itu berubah menjadi daratan yang berawa-rawa, sungai Barito menjadi batas alam daerah pemukiman mereka disebelah barat, disamping Pegunungan Meratus adalah batas alamnya di sebelah timur. (Daud Alfani, 1997: 31)
Dalam proses selanjutnya nenek moyang orang-orang Banjar itu menyebar ke daerah-daerah yang berdekatan, baik arah ke hulu sungai ataupun menjauhi tepi sungai, selain juga arah hilir menempati delta-delta yang terbentuk kemudian. Dalam perjalanan sejarah tentu saja terjadi pencampuran darah, baik dengan orang-orang Dayak sekitar pemukiman, ataupun dengan para imigran yang datang kemudian. (Daud Alfani, 1997: 32)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku Banjar merupakan pecahan dari suku Melayu yang ada di Sumatera, yang telah berimigran kepulau Kalimantan dalam jumlah yang sangat besar. Tahap selanjutnya, suku ini berbaur dengan penduduk setempat yang membentuk suatu suku yang kemudian hari suku tersebut terkenal dengan suku Banjar, dengan masyarakatnya disebut dengan urang Banjar (orang-orang Banjar). Proses pembanjaran terjadi pula dengan adanya perkawinan antar orang Dayak, baik Bukit, Ngaju, Manyan, maupun Lawangan, dengan orang-orang Banjar yang tinggalnya berdekatan.

2.      PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN SUKU BANJAR
Orang-orang Banjar memang beragama Islam, dan sejak lama Islam menjadi ciri masyarakat Banjar. Namun, ternyata tidak hanya Islam yang ada disana, melainkan ajaran Hindu. Sisa-sisa kepercayaan dan praktik-praktik Hindu disanyalir oleh Matsoff (1888) ditemukan di daerah Kabupaten Tabalong akhir abad lalu.
Bentuk-bentuk kepercayaan dan praktek keagamaan yang sebagaimana yang dianut oleh nenek moyang Banjar tatkala mereka mula-mula menetap disini, tidak ada keterangan yang bisa diperoleh. Barangkali aspek religius dari kehidupan masyarakat Bukit yang mendiami pegunungan Meratus adalah merupakan sisa-sisa yang masih tertinggal dari kepercayaan mereka itu. Tentu saja dengan mengingat adanya pengaruh dari agama Hindu dan Islam. Mungkin pula religi nenek moyang orang Banjar pada zaman purba itu dapat ditelusuri dikalangan suku Murba yang hidup di daerah Sumatera (Riau dan Jambi) dan Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia Barat) pada saat ini. dengan demikian kita bisa memperkirakan bahwa religi mereka berdasarkan pemujaan nenek moyang dan adanya makhluk-makhluk halus di sekitar manusia (animisme). Mungkin bentuk-bentuk pemujaan nenek moyang dan aspek animisme dari kehidupan keagamaan masyarakat Banjar, yang kadang-kadang masih muncul, adalah sisa-sisa dari agama mereka terdahulu.
Tentang agama yang dianut oleh raha-raja cikal bakal sultan-sultan Banjar, Hikayat Banjar barangkali dapat dijadikan landasan. Empu Jatmika pada waktu mendirikan Keraton Negaradipa konon menyuruh pula membangun sebuah candi, yang dinamakan “candi Agung”, yang bekas-bekasnya masih ada di kota Amuntai, tidak jauh dari oertemuan antara sungai Balangan dan Tabalung. Candi lainnya adalah candi Laras, yang bekas-bekasnya ditemukan jauh di hilir sungai Negara, yaitu dekat kota Margasari. Di lokasi candi yang terakhir ditemukan sebuah batu, yang dikeramatkan penduduk setempat dan dinamakan “batu babi”, diidentifikasikan sebagai patung Nandi. (Daud Alfani, 1997: 47)
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa agama yang dianut di Negaradipa ialah salah satu bentuk agama Syiwa, mungkin sekali dalam bentuk sinkretisme Syiwa Budha. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa keagamaan kerajaan menjadi patokan agama penduduk yang berada disana pada zaman dahulu, sehingga dapat dinyatakan bahwa bentuk agama di kerajaan ini menjadi agama pula pada penduduk.
Sementara itu agama Kristen diperkenalkan sekitar tahun 1688 oleh seorang pastor Portugis. Namun, penyebaran agama Kristen secara intensif dilakukan dikalangan orang Dayak di kawasan ini, sedangkan orang-orang Bukit baru terjamah oleh kegiatan pengkristenan pada permulaan abad sekarang. (Daud Alfani, 1997: 53)

3.      ISLAM SUKU BANJAR
Daud Alfani menjelaskan bahwa pembentukan suku Banjar tidak terlepas dari pembauran orang-orang Arab yang datang ke Kalimatan Selatan. Orang-orang Arab mungkin banyak berdatangan mulai zaman Islam, yaitu sekitar abad ke-15 atau 16.
Sejak pangeran Samudera dinobatkan sebagai Sultan Suriansyah di Banjarmasin, yaitu kira-kira 400 tahun yang lalu, Islam menjadi agama resmi kerajaan menggantikan agama Hindu. Namun, tentu saja dapat diduga, bahwa jauh sebelumnya pemeluk Islam sudah ada di kota-kota pelabuhan atau di pemukiman-pemukiman yang lebih dekat dengan pantai. Sejak masa Suriansyah proses Islamisasi berjalan cepat, sehingga dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama, yaitu sekitar pertengahan abad ke-18, Islam telah menjadi identitas orang Banjar. Proses pembanjaran yang terjadi juga berakibat pada orang-orang Dayak, baik pria maupun wanita untuk memeluk agama Islam. (Daud Alfani)
Sementara tentang ajaran Islam itu sendiri di kalangan orang-orang Banjar dapat diketahui dari ajaran ritual Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari:
a.       Kegiatan Ibadah Suku Banjar
Kegiatan ibadah pada orang-orang Banjar seperti kegiatan ibadah Islam pada umumnya, yakni ibadah wajib; shahadat, shalat, bersuci secara ritual, puasa, zakat, naik haji, ibadah sunnah; shalat berjamaah, shalat hari raya, puasa sunnah, dan ibadah sunnah lainnya, ajaran Islam dalam bidang lainnya; perkawinan seperti yang ada dalam Islam, perceraian, sistem pewarisan, dan sebagainya.
Semua rangkaian ibadah diatas dilaksanakan seperti yang telah digariskan dalam ajaran Islam pada umumnya, terlepas dari tatacara yang dianut masing-masing aliran organisasi Islam yang ada di Indonesia; NU, Muhammadiyah, dan lembaga kecil lainnya.
b.      Pewarisan Ajaran Islam
Adapun pewarisan ajaran Islam pada masyarakat suku Banjar menurut Daud Alfani dengan cara mengaji, pengajaran pengetahuan Islam dan praktek keagamaan sehari-hari. Sejak umur 6 atau 7 tahun anak-anak sudah mulai belajar membaca huruf-huruf hijaiyyah (al-Qur’an). Anak-anak diajar satu persatu, sementara anak-anak yang telah lancar mengaji ditunjuk untuk mengajar anak-anak lainnya yang belum lancar mengaji.
Untuk guru mengaji sendiri tidak diberikan upah tertentu. Biasanya, sebagai ganti upah para murid akan membelikan minyak lampu penerangan, dan pada waktu panen tiba seorang ibu akan menyuruh anaknya membawakan sedikit hasil panen itu untuk guru mengajinya. (Daud Alfani) Selain belajar membaca al-Qur’an, biasanya juga diadakan pengajian terhadap rukun iman, dan aspek terpenting lainnya dalam Islam.
Ketika mengaji, anak-anak diberikan pelajaran pokok tentang ajaran Islam. Cara-cara dan bacaan shalat sehari-hari, puasa, dan sebagainya. Namun, ajaran-ajaran tersebut tidak sampai disana, setiap anak diwjibkan untuk mengahfal dan mempraktekkan apa-apa yang telah dipelajari ketika mengaji.
Tekanan-tekanan untuk menghafal bacaan-bacaan shalat menjadi aspek dominan tentang bagaimana teori para guru agar anak muridnya dapat mengaplikasikan pelajaran agama yang telah didapatkan ketika mengaji. Selain itu, anak-anak yang telah berumur 7 atau 8 tahun, anak-anak telah dibimbinh untuk mengerjakan ibadah puasa dalam bulan ramadhan.

4.      KEPERCAYAAN DAN RITUAL DALAM SUKU BANJAR
a.       Kepercayaan dan Tindakan
Kepercayaan pada orang Banjar dapat dibedakan menurut asal-usulnya, kepercayaan dalam Islam, dan kepercayaan asal kebudayaan masyarakat setempat. Detail-detail kepercayaan Islam diperoleh ketika seorang anak mengaji, secara tidak langsung diajarkan oleh kerabatnya, dan diperoleh disekolah. Kepercayaan asal lokal terutama diperoleh oleh adanya dongeng-dongeng yang beredar dalam masyarakat tentang asal-usul sultan-sultan kawasan ini, dan adanya cerita-cerita orang tua tentang daerah-daerah tertentu dan makhluk-makhluk halus yang dipercayai menghuninya. Kepercayaan terhadap makhluk halus menjadi aspek dominan dalam kepercayaan lokal.
Kepercayaan ini terlepas dari kepercayaan makhlus halus yang diajarkan oleh Islam (malaikat, jin, iblis), masyarakat Banjar percaya adanya makhluk halus, yakni berbagai jenis hantu. Orang gaib, yang dipercaya sebagai jelmaan manusia yang wafat, konon hidup berkeluarga dan bermasyarakat dalam perkampungan mereka seperti halnya manusia, dan beberapa tokoh mengatakan bahwa hidup orang gaib lebih lama dibanding manusia. Kemudian kepercayaan yang lainnya adalah bahwa setiap manusia lahir setidak-tidaknya membawa empat makhlus halus. (Daud Alfani, 1997: 556)
Kemudian tindakan yang mereka lakukan terhadap kepercayaan tersebut mengharuskan mereka untuk melakukan upacara bersaji setahun sekali, dimana orang-orang gaib dan nenek moyang mereka tersebut kemudian diundang untuk diberi sesaji. Hal tersebut bertujuan agar makhluk halus dan arwah nenek moyang tersebut tetap bersahabat (memberi keselamatan), dan supaya tidak mengganggu kegiatan mereka sehari-hari, terutama berkenaan dengan perolehan rezeki dengan pertanian.
Sesajian tersebut mereka lakukan bukan tanpa landasan, sebab mereka sering kali diserang makhluk gaib (yang mereka sebut dengan kapuhunan atau kesurupan), seperti secara tidak terduga seseorang terpeleset, tertimpa pohon runtuh, jatuh dari atas pohon, dan sebagainya. Kesemuanya itu tidak terlepas dari kemarahan dan teguran dari arwah nenek moyang dan orang gaib yang tinggal disekitar mereka.
b.      Ritual Orang Banjar
Masyarakat (orang-orang) Banjar melakukan berbagai ritual, kebanyakan dari ritual tersebut masih memasukkan unsur Islam, namun didalam beberapa ritual mereka masih memakai cara-cara tradisional yang berkaitan dengan kepercayaan mereka terdahulu;
1.      Pengobatan gangguan orang gaib
Berbagai gangguan orang gaib yang konon disebabkan karena melakukan kesalahan-kesalahan terhadap orang-orang gaib, meskipun tanpa ada kesengajaan untuk itu, wujudnya mungkin ringan saja. Usaha penyembuhan biasanya meminta bantuan tabib. Biasanya yang terkena gangguan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan warga yang sakit oleh tabib, biasanya dengan mempersiapkan syarat-syarat yang konon diminta oleh tokoh gaib bersangkutan, seperti dinyatakan oleh tabib, dan dilaksanakan dalam suatu upacara selamatan yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut. Adakalanya terdapat dua versi yang menyatakan sebab penyakit tersebut. Pertama, yang menjadi sebab sakitnya ialah ketika lewat disuatu tempat yang dihuni oleh orang gaib secara tidak sengaja telah menyebabkan marahnya tokoh gaib tersebut. Kedua, menyatakan penyebab sakitnya ialah karena telah dilalaikannya pelaksanaan upacara tahunan yang wajib bagi kerabat keturunan yang bersangkutan, meskipun tanpa disadarinya tentang adanya kewajibannya itu, karena sebenarnya selama beberapa generasi kerabatnya tidak pernah melaksanakannya. Penyembuhannya ialah dengan mengucapkan kaul akan melaksanakan upacara tahunan yang dituntut dengan menempatkan suatu benda, dan mewujudkan kaul tepat pada waktunya, seperti yang telah diajarkan tabibnya.
2.      Mengetam Padi
Sebelum padi diketam secara beramai-ramai, biasa pula dilakukan upacara bamula. Untuk memulai mengetam ini keluarga-keluarga petani dilaporkan meminta bantuan seorang tua yang dipandang “ahli”. Pada sore hari akan diadakan upacara, upacara tersebut bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi dan guna memastikan agar padi tidak terlihat orang gaib, dan dengan demikian konon bila dituai kelak tidak ada yang ketinggalan dan dihindari pula bahaya dituai orang gaib. Untuk keperluan ini pelaksana upacara membawa sebuah upat (suluh terbuat dari kulit bunga kelapa yang sudah kering dan dipilah-pilah). Upacara dimulai dengan berdiri ditengah-tengah sawah dan mengucapkan “mamangan” ditengah kepulan asap upat, yang selalu dijaga agar tidak menyala. Isi mamangan ialah memberi salam kepada semangat padi bahwa besok pagi akan dijemput dan ditempatkan dalam gadung tujuh. Setelah meletakkan upat dipinggir sawah, pelaksana upacara berkeliling sambil menepung tawari rumpun-rumpun padi dengan minyak likat boboreh yang telah dicampur dengan parutan kencur. (Daud Alfani, 1997: 442)


KESIMPULAN

Suku Banjar merupakan kelompok mayoritas yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Pada awalnya kelompok ini banyak menempati wilayah pesisir dengan mata pencaharian utama berdagang. Namun belakangan, suku Banjar juga mulai menempati wilayah-wilayah pedalaman di sekitar pegunungan Meratus untuk menjalani kehidupan sebagai petani karet atau berladang sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Meratus pada umumnya.
Islam merupakan agama mayoritas pada orang Banjar. Namun dalam prakteknya terdapat beberapa kepercayaan dan ritual yang menggambarkan sinkretisme ajaran Islam dan kepercayaan animisme yang ada sebelumnya. Hal ini terdapat pada kepercayaan terhadap hantu yang berupa orabg gaib, menghormati roh nenek moyang, dan beberapa penyakit yang dihadirkan oleh orang gaib dan roh nenek moyang.

Namun terlepas dari itu semua hal terpenting yang dapat penulis simpulkan adalah bahwa setiap peradaban bermula dari suatu peradaban yang dianggap aneh oleh peradaban dewasa ini. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, tapi lantas kita tidak boleh meremehkan kepercayaan dan peradaban terdahulu, sebab dari sana pokok pikiran dan budaya kita sekarang alhir dan berkembang. Apapun yang terjadi kepercayaan animisme dan dinamisme (meskipun kuno) ia tetap menjadi identitas bangsa Indonesia yang sepatutnya kita hormati.


DAFTAR PUSTAKA

Alfani, Daud. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, ed-1. PT. RajaGrafindo, Jakarta.
Trueblood, David. 1994. Filsafat Agama, ed-Indonesia, terj-Rasidi. Bulan Bintang, Jakarta.
Sani, Abdul, dkk, “Sosiologi dan Kepercayaan Masyarakat Banjar”, Tashwir vol.1 No.1 (Januari—Juni, 2013). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“PENGELOMPOKAN KEILMUAN ISLAM DALAM BURHANI, IRFANI, DAN BAYANI”

BAB I PENDAHULUAN 1.1   LATAR BELAKANG MASALAH Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah epistemologis. Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. [1] Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode yang dikembangkan oleh para pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan Ziaudin Sardar, sementara para ilmuanbarat menggunakan hanya satu macam metode ilmiah, yaitu metode observasoi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hiererki objek-objeknya, yaitu (1) Bayani atau observasi, (2) Burhani atau Logis, (3) Irfani atau intuitif, yang masing-masing bersumber

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM Metodologi Studi Islam

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Agama sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution menunjukan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial,dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Dalam menjawab persoalan itu. Harun Nasution membangun sebuah pernyataan berikut: Betulkan ajaran agama hanya merupakan wahyu dari tuhan? Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi”i Mufid. Ahmad Syafi”i Mufid (Affandi Mochtar(ed), 1996: 34) menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti. Sebagai mana sudah di singgung di atas, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang di wahyukan tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusi