Langsung ke konten utama

“PENGELOMPOKAN KEILMUAN ISLAM DALAM BURHANI, IRFANI, DAN BAYANI”



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG MASALAH

Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah epistemologis. Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.[1]
Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode yang dikembangkan oleh para pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan Ziaudin Sardar, sementara para ilmuanbarat menggunakan hanya satu macam metode ilmiah, yaitu metode observasoi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hiererki objek-objeknya, yaitu
(1) Bayani atau observasi,
(2) Burhani atau Logis,
(3) Irfani atau intuitif,
yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati.[2]

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.        Apa sebenarnya yang dimaksud dengan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2.      Bagaimana penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani ?
3.      Apa saja keunggulan dan keterbatasan epistemologi bayani, burhani dan irfani
1.3  TUJUAN PENELITIAN
1.      Mengetahui maksud dengan metode bayani, burhani, dan irfani
2.      Mengetahui manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
3.      Mengetahiu kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.


1.4  MANFAAT PENELITIAN
1.      Memberikan pemahaman maksud metode bayani, burhani dan irfani
2.      Memberikan manfaat penerapan epistimologi bayani, burhani dan irfani
3.      Memberikan kelebihan dan kelemahan ketiga metode tersebut.

1.5  RUANG LINGKUP MASALAH
Ruang lingkup masalah sebatas menjelaskan penerapan keilmuan islam dalam rumpun bayani, burhani dan irfani

1.6  METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
1.      Deskriptif
2.      Studi pustaka
     
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bayani, Burhani dan Irfani
Menurut para ilmuan Muslim, manusia memiliki tiga macam sumber “alat” untuk menengkap keseluruhan realitas : panca indra, akal, dan intuisi (meliputi wahyu). Sementara di lain sisi, para ilmuan barat modern pada dasarnya hanya mengakui indra. Dengan hanya mengakui indra, mereka mengembangkan hanya satu metode penelitian saja, yaitu metode observasi, atau eksperimen indrawi. Metode observasi ini memang terus dikembangkan sampaitingkat yang canggih, tetapi semuanya tetap bermuara pada penerapan indrawi.[3]
Berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan barat, ilmuwan-ilmuwan muslim mengakui keabsahan bukan hanya metode observasi, tetapi juga metode rasional (burhan) dan intuitif (irfani). Dengan kata lain, mereka mengakui bukan hanya persepsi indrawi dalam proses pengetahuan, tetapi juga nalar akal dan persepsi hati.
Selain panca indra, sarjana-sarjana muslim juga mengakui akal sebagai alat untuk menangkap realitas. Dari sini mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasionel-demonstratif (burhan). Seperti indra dapat menangkap objek indrawi, maka akal dapat menangkap objek sepiritual atau metafisik secara logistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui.
Dengan cara inilah manusia dapat melakukan refleksi dan penelitian terhadapfenomena alam untuk menetahui keberadaan Tuhan dan ke esaan-Nya, serta hal-hal ghaib lainnya seperti malaikat, iblis, dan alam akhirat.[4]
Perbedaan dalam metode-metode itu terjadi, seperti disinggung diatas, sepadan dengan perbedaan sifat dasar dari objeknya. Untuk objek yang berkaitan fisik atau indrawi, para filosof muslim yang pada ummumnya juga adalah ilmuan, menggunakan metode observasi, seperti Al Kindi yang menggunakan metode observasinya di laboratorium kimia dan fisikanya, Nashir Al-Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi di observatoriumnya yang amat terkenal di Maraghah, Ibnu Sina mengadakan observasinya dalam bidang kedokteran yang dia tulis dalam bukunya yang terkenal Al Qonun fi Al Thiib.[5]
Namun,sementara barat berhenti pada bidang-bidang fisik dalam penelitian ilmiah mereka ilmuan-ilmuan muslim yang sekaligus juga filosof meneruskan tujuan ilmiah mereka ke bidang-bidang non fisik,baik yang bersifat matematis maupun metafisi. Sebagaimana observasi indra bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasil-hasilnya. Meskipun begitu, para filosof mengakui adanya beberapa tingkat atau jenis metode tersebut dan memandang objek-objek yang ditelitinya dapat ditangkap dengan tepat dengan metode yang terakhir yaitu demonstratif (burhani). Menurut mereka metode demonstratif inilah yang mereka gunakan dalam penelitian ilmiah dan filosofis mereka.
Tapi perlu diingat bahwa akal bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk menangkap realitas-realitas nonfisik karena selain akal, manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan “hati” atau intuisi. Dengan pendekatan inilah disebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seorang, dan karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri.[6]


B.     Pengertian Bayani
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu “al-bayan” yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara istilah ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayan, ulama ilmu balagah misalnya, mendefinisikan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybi>h (penyerupaan). Ulama kalam mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.[7]
Dalam epistimologi islam bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek syariat.[8]
Maka sumber epistimologi bayani adalah teks, sumber teks dalam studi islam dapat dikelompokan secara umum menjadi dua, yakni :
1.                  Teks nash ( al-Qur’an dan as-Sunnah )
2.                  Teks non-nash yaitu berupa karya para ulama.

Objek yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
1.                  Gramatika dan sastra ( nahwu dan balaghah )
2.                  Hukum dan teori hukum ( fiqh dan ushul fiqh )
3.                  Fiologi
4.                  Theologi
5.                  Dalam beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadis
Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam epistimologi ini cenderung deduktif, sehingga muncul beberapa kritik terhadap epistimologi bayani, adalah munculnya sikap :
1.                  Dogmatif
2.                  Defensif
3.                  Apologetik
4.                  Polemis
Artinya menempatkan teks yang dikaji sebagai satu ajaran mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan dimaksimalkan, tidak boleh diperdebatkan, apalagi ditolak. Padahal teks yang dikaji penuh dengan historisitas kita pada zaman global, post industri dan informatika. Dengan kata lain, teks yang dikaji mestinya mendapat perhatian ketika dikaji pada zaman kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks. Dengan begitu, mestinya model kajian bayani perlu diperkuat dengan analisis konteks dengan melakukan konstektualisasi untuk mencari relevansi dari nash sebagai kebutuhan untuk menjawab persoalan zaman sekarang.[9]


C.     Pengertian Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.[10]
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.

Maksud epistimologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhami adalah realitas dan empiris; alam, sisial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh dengan hasil penelitian percobaan, eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik bersifat sosial maupun alam. Corak yang digunakan adalah berpikir induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.[11]
Sikap terhadap kedua epistimologi bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam studiislam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar abduktif, yakni mencoba memadukan model deduktif dan induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmuislam yang lengkap (kompherensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.[12]
Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan  dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya  dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun, tadabbarun, dan lain-lain.  lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.[13]


D.    Pengertian Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara istilah  irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah.
Jadi apa yangdimaksud ialah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Dari irfani muncul illuminasi. Adapun prosedur ‘rfaniah dapat digambarkan sebagai berikut. Bahwa berdasrkan literatur tasawuf, secara garis besar kita dapat menunjukan langkah-langkah penelitian ‘irfaniah sebagai berikut :
1.                    Takhliyah        : pada tahap ini, peneliti mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatiannya kepada Allah sebagai khaliq
2.                    Tahliyyah        : pada tahap ini, peneliti memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungan dengan sang Khaliq lewat ritus-ritus tertentu.
3.                    Tajliyah           : pada tahap ini, peneliti menemukan jawabanbatiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniah :
1.      Riyadah           : rangkaian latihan dan ritu, dengan penehapan dan prosedur tertentu.
2.      Tariqah : disini diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang mengikuti aliran tasawuf yang sama
3.      Ijazah               : dalam penelitian ‘irfaniah, kehadiran guru (mursyid) sangat prnting,. Mursyid membimbing murid dari tahap satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu, mirsyid memberikan wewenag (ijazah) kepada murid.

E.     Keunggulan dan keterbatasan epistimologi bayani, burhani dan irfani

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa di dalam islam memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Sebenarnya dalam epistimologi bayani juga menggunakan akal, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan dogma dalam kehidupan beragama, karena kurang mampu merespon perkembangan zaman.

Hal ini dikarenakan teks sebagai sumber yang paling mutlak, sedangkan akal pikiran dikesampingkan, sehingga peran akal menjadi tergantung di bawah  teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.[14]

Sistem berpikir yang berkembang epistemologinya dikembangkan di atas semangat akal dan logika dengan beberapa penelitian akal  merupakan keunggulan epistemologi burhani. Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam perumusan utmanya  teks atau konteks, sehingga masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun disisi lain juga banyak yang memenangkan konteks.[15]
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi (ilham), ebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra manusia dan pemikiran akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alamnya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.[16]         

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dengan membandingkan antara model berpikir umum dan islam, dengan demikian muncul gambaran berikut, bahwa epistimologi umum :
1.      Model berpikir rasional
2.      Model berpikir empirikal
3.      Model berpikir intuitif
Sementara model berpikir islam adalah :
1.      Bayani bersumber pada taks baik nash ataupun non-nash
2.      Burhani bersumber pada akal dan empirikal
3.      Irfani bersumber pada kasf [17]

Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam epistimologi islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui indra yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal bukan saja benda-benda indriawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui.
Ketiga, hati yang menangkap objek-objek non-fisik atau metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.

Dengan demikian, seluruh rangkaian wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan yang fisik dan non-fisik dapat diketahui oleh manusia.[18] 

DAFTAR PUSTAKA


·         Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, Erlangga, Jakarta, 2007
·         Mulyadhi Kartanegara, Menembus batas waktu panorama filsafat Islam, Mizan, Bandung, 2002
·         William C. Chittick, Kosmologi Islam dan dunia modern, Mizan publika, Jakarta, 2010
·         Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, tazzafa, Yogyakarta, 2012
·         http://sanadthkhusus.blogspot.com




[1] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002(hlm 66)
[2] Ibid (hlm 61)
[3] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 7)
[4] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan nalar, Erlangga, Jakarta, 2007 (hlm 8)
[5] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[6] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[8] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 41)
[9] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 42)
[11] Ibid (hlm 43)
[12] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 43)
[13] Mulyadi kartanegara, mengislamkan nalar,erlangga, jakarta, 2007 (hlm10)
[14] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 66)

[15] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 64)
[16] ibid
[17] Kherudin Nasution,pengantar studi islam, tazzafa, yogyakarta (hlm 45)
[18] Mulyadi Kartanegara, Menembus waktu panorama filsafat islam, Mizan, Bandung, 2002 (hlm 66)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepercayaan Urang Banjar di Kalimantan Selatan

1.       SEJARAH SUKU BANJAR Mengingat persamaan yang besar sekali antara bahasa yang dikembangkan suku Banjar dengan bahasa Melayu, yang dikembangkan oleh suku-suku di Sumatera dan sekitarnya, dapat diduga mungkin sekali nenek moyang suku Banjar berintikan pecahan suku Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini, dari Sumatera atau sekitarnya. Imigrasi besar-besaran dari suku Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Barangkali suku Dayak Bukit, yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang pertama; bahasa mereka dapat diidentifikasikan sebagai bahasa Banjar kuno. Imigran-imigran Melayu yang datang belakangan inilah yang menjadi inti dan kemudian, setelah berlalu waktu dan banyak kelompok-kelompok Bukit dan Manyan, dan belakangan kelompok Ngaju, melebur kedalamnya, berkembang menjadi suku Banjar. Nama Banjar diperoleh ketika pusat kekua

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM Metodologi Studi Islam

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Agama sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution menunjukan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial,dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Dalam menjawab persoalan itu. Harun Nasution membangun sebuah pernyataan berikut: Betulkan ajaran agama hanya merupakan wahyu dari tuhan? Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi”i Mufid. Ahmad Syafi”i Mufid (Affandi Mochtar(ed), 1996: 34) menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti. Sebagai mana sudah di singgung di atas, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang di wahyukan tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusi